Di sebuah rumah tua yang sudah berusia puluhan tahun, tinggallah seekor kucing jantan bernama Milo. Dia adalah kucing kampung yang merasa dirinya paling berkuasa di seluruh pelosok rumah. Badannya besar, bulunya hitam lebat, dengan kumis yang melintang tegas di wajahnya. Seluruh hewan di rumah itu, termasuk para tikus, ketakutan setengah mati begitu mendengar namanya. Milo, si penguasa rumah, dikenal sebagai kucing dengan naluri pemburu yang tak pernah meleset.
Namun, di balik sosoknya yang gagah, Milo punya kebiasaan yang sedikit aneh. Dia selalu tidur siang di tempat yang sama—di atas tumpukan bantal empuk di sofa ruang tamu. Dan saat tertidur, Milo tak peduli dunia luar. Bahkan jika dunia kiamat, dia akan tetap mendengkur dengan damai.
Suatu hari, di sela-sela tidurnya yang lelap, telinga Milo menangkap suara yang sangat mengganggu. "Tolong! Tolooong!" Milo membuka sebelah matanya, lalu menggerak-gerakkan kupingnya untuk memastikan sumber suara itu. Suara itu datang dari sudut dapur. Matanya yang tadinya sayu tiba-tiba membelalak tajam. "Tikus!" pikir Milo dengan girang.
Dengan gerakan gesit, Milo meloncat dari sofa dan berlari menuju dapur. Naluri pemburunya kembali bangkit. Di sana, di depan lemari kayu, seekor tikus kecil berusaha keras menarik ekornya yang terjepit perangkap tikus. Tikus itu adalah Miki, salah satu musuh bebuyutannya. Miki melotot panik ketika melihat sosok besar Milo mendekat dengan langkah lambat, seperti pendekar yang hendak menyelesaikan lawan terakhirnya.
"Ha! Hari ini adalah hari keberuntunganmu, Miki!" seru Milo dengan penuh kemenangan. "Kamu akhirnya tertangkap!"
Miki mencoba meronta, namun ekornya tetap terjepit. Wajahnya ketakutan. "Milo! Tolong! Jangan makan aku! Aku—aku belum siap mati!"
Milo mendengus, tertawa kecil. "Kenapa aku harus tolong kamu, Miki? Bukankah kita musuh bebuyutan? Kamu dan teman-temanmu selalu bikin keributan, nyolong makanan, bikin kotoran di mana-mana. Hari ini, kamu kena batunya!"
Namun, di balik ancamannya, Milo merasa ada sesuatu yang aneh. Miki kelihatan benar-benar ketakutan, lebih dari biasanya. Biasanya, tikus-tikus lain hanya kabur, tetapi Miki... Miki malah minta tolong.
"Tolonglah, Milo," kata Miki dengan suara memelas. "Kalau kamu tolong aku, aku janji nggak akan nyolong keju di dapur lagi! Sumpah demi keju favoritku!"
Milo menatap Miki dengan pandangan ragu. Memang, sebagai kucing yang bermartabat, menolong musuh bebuyutan adalah hal yang aneh dan mungkin akan mencoreng reputasinya. Tapi ada sesuatu dalam nada suara Miki yang membuat Milo berpikir sejenak.
“Keju di dapur itu memang enak,” gumam Milo sambil mengingat wangi keju yang sering diendusnya saat majikannya mengirisnya. Tapi, lebih enak lagi jika tikus ini tidak bikin ulah lagi.
Milo mendekat, ekornya melambai angkuh. "Baiklah, aku akan tolong kamu, tapi ada syaratnya."
Miki mengangguk-angguk cepat. “Apa saja! Aku janji!”
Milo merenung sebentar, lalu berkata, “Kamu harus kasih tahu di mana tempat persembunyian teman-temanmu selama ini. Setiap malam aku mendengar suara gemeretak kecil dari balik dinding, tapi tak pernah bisa kutemukan kalian. Kalau kamu kasih tahu, aku akan tolong kamu.”
Miki terdiam, jelas ini pilihan sulit. Tapi apa boleh buat, ekornya masih terjepit. “Baiklah, aku akan kasih tahu. Di balik lemari tua di gudang, ada lubang kecil. Kami sembunyi di sana. Tapi tolong, jangan serang mereka. Mereka cuma mau makan remah-remah roti, kok.”
Milo mengangguk puas. "Itu baru kesepakatan yang adil." Dengan cakar halusnya, Milo mengangkat tuas perangkap tikus itu, membebaskan ekor Miki.
Miki segera melompat bebas, mengusap ekornya yang lecet. “Makasih, Milo! Kamu nggak seburuk yang aku kira.”
Milo tersenyum menyeringai. "Jangan terlalu senang dulu. Ingat janjimu."
Sejak hari itu, ada kesepakatan aneh antara Milo dan Miki. Mereka tetap berpura-pura sebagai musuh di depan hewan-hewan lain, tapi sebenarnya, mereka punya perjanjian rahasia. Miki dan teman-temannya tidak lagi mencuri makanan di dapur, dan sebagai gantinya, Milo tidak akan mengejar mereka jika mereka hanya mengambil remah-remah makanan.
Hari-hari berlalu dengan damai, sampai suatu ketika, Milo terjebak dalam situasi yang tak terduga. Majikan rumah, Bu Susi, baru saja memasang perangkap kucing di taman belakang untuk menangkap kucing liar yang sering mengacau. Dan siapa yang tertangkap? Tidak lain adalah Milo sendiri.
Milo yang biasanya cerdik ternyata lengah. Dia terjebak di dalam perangkap besi, tak bisa keluar, sementara Bu Susi berencana mengirimnya ke penampungan hewan. Saat itu, tak ada yang bisa menolongnya. Teriakannya tak didengar oleh siapa pun, bahkan anjing tetangga yang biasanya ribut pun tak peduli.
Namun, ada satu makhluk yang mendengar. Miki, yang sedang bermain-main di kebun, mendengar suara Milo. Ketika ia melihat Milo terjebak di dalam perangkap, Miki segera mendekat. Wajahnya bingung.
"Milo? Kamu yang terjebak sekarang?" Miki mengerjapkan mata, seakan tak percaya.
Milo menggeram lemah. “Ya, ya, aku terjebak. Aku tahu ini aneh, tapi... bisakah kamu bantu aku keluar dari sini? Kalau kamu tidak menolong, aku akan dikirim ke penampungan hewan, dan kita berdua tahu aku terlalu tampan untuk tinggal di sana.”
Miki terdiam sejenak, memandangi Milo yang biasanya angkuh kini dalam keadaan tak berdaya. Ia ingat bagaimana Milo dulu menolongnya tanpa meminta balasan besar. Meski mereka musuh, Milo pernah menolongnya. Jadi, inilah saatnya membalas budi.
Dengan gerakan cepat, Miki mulai menggigiti tali yang mengunci perangkap. Giginya yang kecil tapi tajam berhasil melonggarkan kunci perangkap tersebut. Setelah beberapa menit, pintu perangkap terbuka, dan Milo berhasil meloloskan diri.
Milo melompat keluar dengan anggun, lalu menatap Miki dengan penuh terima kasih. “Kamu benar-benar sahabat di balik musuh, Miki. Aku tidak akan pernah melupakan ini.”
Miki tertawa kecil, mengibas-ngibaskan ekornya. “Anggap saja impas, Milo. Lagipula, kita berdua punya kesepakatan, kan?”
Milo mengangguk. “Ya, kesepakatan seumur hidup.”
Dan sejak hari itu, hubungan antara Milo dan Miki menjadi semakin unik. Di depan hewan lain, mereka masih berpura-pura saling benci. Milo tetap mengejar Miki dengan gigi terbuka lebar, sementara Miki berlari secepat mungkin seolah-olah sedang melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa. Namun, saat malam tiba, mereka akan duduk bersama di bawah meja dapur, berbagi cerita dan terkadang remah-remah makanan yang jatuh.
Dalam dunia hewan, persahabatan kadang datang dari tempat yang tak terduga—bahkan dari musuh bebuyutan sekalipun.