Pagi itu, Zee dan Vian, sepasang anak kembar berusia 7 tahun yang terkenal cerdik di sekolah, sedang sibuk merencanakan petualangan baru mereka. Bukan petualangan biasa seperti menyusuri hutan di belakang rumah, kali ini mereka berambisi menyelesaikan “kasus besar” yang terjadi di sekolah. Semuanya dimulai ketika Rio, teman sekelas mereka, tiba-tiba hilang setelah pulang sekolah.
Hari itu, Rio tak kunjung pulang ke rumah, dan orang tuanya cemas. Berita hilangnya Rio segera menyebar ke seluruh sekolah. Polisi sudah dipanggil, tapi Zee dan Vian, dengan imajinasi detektif yang subur, yakin mereka bisa menyelesaikan kasus ini lebih cepat daripada polisi!
“Ini pasti kasus penculikan!” seru Zee dengan antusias.
“Aku setuju! Kita harus cari petunjuk, dan mungkin penjahatnya dekat-dekat sini,” sahut Vian, yang selalu mengikuti setiap rencana konyol kakaknya meski mereka kembar.
Mereka mulai "misi penyelidikan" di sekolah. Zee, yang merasa dirinya adalah Sherlock Holmes, langsung menyiapkan topi detektif buatan sendiri dari koran, sedangkan Vian memilih untuk membawa kaca pembesar mainan dari kotak mainannya, yang ia kira bisa membantu mereka menemukan sidik jari pelaku.
Mereka berdua mulai dengan mewawancarai saksi mata. Yang pertama adalah Rina, teman sebangku Rio. Dengan penuh gaya layaknya detektif sejati, Zee berkata, “Kami dengar kamu yang terakhir melihat Rio. Ada hal aneh yang terjadi?”
Rina mengerutkan alisnya. “Rio bilang ada orang yang menawarkan permen saat dia keluar dari gerbang sekolah. Dia bilang orang itu pakai topi hitam besar, kelihatannya misterius.”
Vian menelan ludah. “Pasti dia penculiknya! Ayo kita cari orang bertopi hitam besar!”
Setelah wawancara itu, mereka berdua dengan penuh semangat mulai menelusuri daerah sekitar sekolah, mencari siapa saja yang memakai topi hitam besar. Sepanjang jalan, mereka memandang curiga setiap orang yang lewat, termasuk seorang kakek penjual es krim yang kebetulan memakai topi hitam.
“Kakek ini pasti tersangka utama!” bisik Vian penuh keyakinan.
Zee pun langsung mendekati kakek itu. “Kakek! Apakah kakek lihat anak kecil yang diculik?”
Kakek penjual es krim tertawa. “Hahaha, tidak, Nak. Kakek cuma jualan es krim, bukan menculik anak.”
Merasa salah sasaran, mereka melanjutkan pencarian. Petunjuk topi hitam besar terbukti tidak membawa hasil, dan mereka mulai merasa frustasi. Tapi kemudian, saat mereka sedang berjalan di dekat taman kota, mereka melihat sesuatu yang aneh: Sebuah mobil hitam yang terparkir dengan jendela agak terbuka, dan dari dalam mobil, terdengar suara orang berbicara keras. “Awas kau, bocah! Jangan macam-macam atau kamu tak akan bisa pulang!”
Zee dan Vian saling berpandangan dengan mata berbinar. “Itu dia! Itu pasti penjahatnya!” kata Zee dengan penuh semangat.
Mereka segera merapatkan diri ke mobil, merayap seperti mata-mata profesional di film-film yang pernah mereka tonton. Dengan perlahan, mereka mendekatkan telinga ke jendela mobil, berusaha mendengar lebih jelas.
“Kamu gak akan bisa kabur! Lihat saja nanti, aku akan bawa kamu ke bos besar!”
“Aduh, ini pasti serius!” bisik Vian panik. “Rio benar-benar dalam bahaya!”
“Jangan khawatir, Vian. Kita bisa atasi ini. Aku sudah punya rencana.” Zee, yang terkenal dengan ide-idenya yang nekat, segera mengeluarkan rencana brilian. “Kita lempar batu ke mobilnya, lalu pura-pura kabur. Ketika dia mengejar kita, Rio bisa lari.”
Vian menatap kakaknya dengan takjub. “Wah, itu ide keren! Ayo kita coba!”
Dengan hati-hati, Zee mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah mobil. Tok! Batu itu mengenai pintu mobil, menghasilkan bunyi kecil. Mereka segera bersembunyi di balik semak-semak, menunggu respons dari "penjahat."
Tak lama kemudian, pintu mobil terbuka dan seseorang keluar. Bukan penjahat bertubuh besar seperti yang mereka bayangkan, melainkan seorang pria berperawakan biasa, dengan ekspresi bingung. "Siapa yang lempar batu?"
Zee dan Vian mengintip dari balik semak-semak, merasa tegang dan bersemangat. Pria itu mulai berjalan menjauh dari mobil, berusaha mencari sumber suara. Ini kesempatan mereka!
“Sekarang! Kita harus selamatkan Rio!” kata Zee.
Mereka berlari ke arah mobil dan membuka pintu belakang dengan hati-hati. Di dalam, mereka menemukan Rio yang sedang duduk—tapi alih-alih terlihat takut, dia malah sedang memainkan ponselnya dengan wajah santai.
“Hei, kalian ngapain di sini?” tanya Rio dengan ekspresi bingung.
Zee dan Vian terkejut. “Rio! Kami pikir kamu diculik!”
Rio tertawa. “Hah? Enggak, kok! Ini paman aku. Aku disuruh menunggu di mobil sementara dia beli makanan di warung. Tadi aku bilang sama teman-teman biar seru aja. Ternyata kalian beneran nyari aku!”
Zee dan Vian saling berpandangan dengan wajah memerah. Ternyata, ini semua hanya salah paham. Mereka mengira Rio diculik, padahal dia hanya menunggu di mobil pamannya.
Ketika pria yang tadi keluar dari mobil kembali, dia menatap Zee dan Vian yang sedang berdiri kikuk di samping mobil. “Kalian siapa? Mau ngapain di sini?”
Vian langsung menyahut dengan penuh percaya diri, “Kami detektif yang sedang menyelidiki kasus hilangnya teman kami.”
Pria itu tertawa. “Oh, jadi kalian detektif? Wah, paman jadi merasa aman ada detektif cilik di sini!”
Zee dan Vian hanya bisa tertawa malu. Setelah kejadian itu, mereka menyadari bahwa menjadi detektif ternyata lebih sulit dari yang mereka bayangkan, tapi setidaknya mereka berhasil menemukan Rio—meski dengan cara yang kocak dan tidak terduga.
Ketika mereka pulang, ibu mereka bertanya, “Kalian ngapain aja hari ini?”
Zee menjawab dengan bangga, “Kami memecahkan kasus besar, Bu. Rio hilang, dan kami berhasil menemukannya.”
Vian mengangguk setuju. “Meskipun ternyata dia nggak hilang beneran, tapi kami tetap hebat, kan?”
Sang ibu hanya bisa tersenyum, sambil menggelengkan kepala melihat aksi kembarannya yang penuh petualangan.
Zee dan Vian memang mungkin bukan detektif terbaik di dunia, tapi bagi mereka, setiap hari adalah petualangan seru yang penuh tantangan. Siapa tahu, mungkin besok ada kasus lain yang menunggu untuk mereka pecahkan dengan cara mereka yang kocak dan penuh tawa!