Di sebuah sudut hutan Sumatra, pagi itu terdengar sunyi. Langit masih berlapis kabut tipis, dan suara alam menjadi harmoni yang memanjakan telinga. Namun, tiba-tiba suara gemuruh ranting patah dan ringkikan pilu membelah udara. Seekor induk gajah tampak berdiri di tengah jalan setapak kecil, tubuhnya yang besar menghalangi jalur. Ia bergerak gelisah, matanya penuh kecemasan.
Farhan, seorang petualang muda yang tengah melintasi kawasan hutan itu dengan mobil jipnya, terpaksa berhenti mendadak. Ia baru saja selesai mendokumentasikan satwa liar untuk sebuah proyek konservasi. Dari balik kaca depan, ia melihat induk gajah itu mendekat, belalainya terulur seolah memberi isyarat.
“Ada apa, Bu Gajah?” gumam Farhan, mencoba menenangkan diri meski hatinya berdegup kencang. Ia tahu, meski gajah cenderung ramah, mereka bisa menjadi agresif jika merasa terancam.
Namun, tingkah laku gajah itu berbeda. Ia tidak menyerang. Sebaliknya, ia mengibaskan telinganya dengan putus asa dan terus mendekat, berhenti hanya beberapa meter dari mobil Farhan. Tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang aneh—seperti permohonan.
Dengan hati-hati, Farhan membuka pintu mobil dan turun. Ia mengambil senter serta pisau lipat dari tasnya, berjaga-jaga kalau-kalau ada bahaya. “Apa yang kamu butuhkan, Nak?” Farhan berbicara lembut, mencoba membangun kepercayaan.
Induk gajah itu berbalik dan berjalan pelan ke arah hutan, sesekali menoleh untuk memastikan Farhan mengikutinya. Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah area di mana pagar besi tua membentang melintasi hutan. Di sana, seekor anak gajah terjerat di antara celah pagar, tubuhnya yang kecil berusaha keras melepaskan diri, tetapi hanya membuat lukanya semakin parah.
“Oh, Tuhan…” bisik Farhan, hatinya mencelos. Anak gajah itu menangis lirih, darah segar menetes dari kakinya yang tergores besi tajam. Induknya berdiri tak jauh, mengeluarkan suara rendah penuh kesedihan.
Farhan bergerak cepat. Ia memeriksa pagar besi itu dan mencoba menemukan cara untuk melepaskan anak gajah tanpa menyakitinya lebih jauh. Berbekal pisau lipat dan sedikit tenaga, ia mulai memotong bagian pagar yang sudah tua dan berkarat. Namun, besi itu terlalu kuat. Farhan tahu ia membutuhkan bantuan.
Ia segera meraih ponsel satelit di dalam tasnya dan menghubungi tim penyelamat satwa liar yang kebetulan berpatroli di daerah itu. “Saya butuh alat berat untuk memotong pagar besi di koordinat ini. Seekor anak gajah terluka!” katanya, nada suaranya mendesak.
Beberapa saat kemudian, suara mesin kendaraan mendekat. Tim penyelamat tiba dengan alat potong hidrolik. Dengan kerja sama dan kehati-hatian, mereka berhasil membebaskan anak gajah itu. Meski lemah, anak gajah segera berdiri dan berjalan pelan ke arah induknya, menyentuh tubuh besar itu dengan belalainya. Induk gajah tampak mengeluarkan suara lembut, seolah berterima kasih kepada manusia-manusia yang telah menolongnya.
“Ini adalah momen yang tidak akan pernah saya lupakan,” kata Farhan pelan, melihat pemandangan mengharukan itu.
Sebelum kembali ke dalam hutan, induk gajah itu menoleh sekali lagi ke arah Farhan, matanya menatap dalam seakan berterima kasih. Setelahnya, mereka menghilang di balik pepohonan, meninggalkan kenangan yang membekas di hati semua orang yang menyaksikannya.
Hutan kembali sunyi, tapi kali ini, Farhan merasa ada suara baru yang bergema—suara ikatan antara manusia dan alam yang tak terputuskan.