Rani memandang peta tua yang terhampar di meja. Warna kuno dan lipatan di sudut-sudutnya menunjukkan bahwa peta ini sudah berusia ratusan tahun. Namun, setiap garis, setiap simbol yang terukir di atasnya memiliki arti penting. Mata Rani bersinar. Ini adalah petunjuk yang ia tunggu-tunggu, dan mungkin jawaban atas misteri yang sudah berabad-abad tersimpan.
"Sini, Dika," panggil Rani kepada sahabatnya yang sedang duduk di pojok ruangan, memeriksa buku-buku tua yang bertumpuk. "Aku menemukan sesuatu."
Dika beranjak dari tempat duduknya, mendekati meja. Dengan cermat ia menatap peta yang tergeletak di sana. "Ini... ini peta dari Kerajaan Gua Terlarang," ucapnya terkejut. "Aku pernah membaca tentangnya di buku sejarah. Konon, ada artefak kuno yang hilang dari kerajaan ini, dan hanya sedikit orang yang tahu tentang keberadaannya."
Rani mengangguk. "Aku tahu. Dan aku pikir peta ini bisa menjadi kunci untuk menemukannya. Kita harus segera berangkat ke tempat ini, Dika."
"Apakah kamu yakin? Banyak yang telah mencoba mencarinya, dan mereka semua gagal," kata Dika, merasa cemas.
"Kalau kita tidak mencobanya, bagaimana kita tahu? Kita harus melakukannya, Dika. Ini bisa menjadi penemuan terbesar dalam sejarah," jawab Rani penuh semangat.
Dika terdiam sejenak, memikirkan konsekuensi perjalanan berbahaya itu. Namun, akhirnya ia setuju, tahu betul bahwa petualangan ini akan mengubah hidup mereka selamanya.
Keberangkatan mereka dimulai dengan perjalanan menuju kaki gunung yang dikenal dengan nama Gua Terlarang. Peta yang mereka miliki menunjukkan bahwa artefak yang hilang tersebut terkubur di dalam gua yang terletak di tempat yang sangat sulit dijangkau. Gua itu sudah lama terlupakan, bahkan penduduk setempat percaya bahwa gua itu terkutuk.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang pria tua yang mengenakan pakaian lusuh, berjalan pelan di sepanjang jalan setapak. Pria itu berhenti dan memandang mereka dengan tatapan tajam.
"Apa yang kalian cari?" tanya pria itu dengan suara parau.
"Kami sedang mencari artefak kuno, Pak. Mungkin Anda tahu sesuatu tentang Gua Terlarang?" tanya Rani, yang merasa bahwa pria itu mungkin tahu lebih banyak tentang tempat yang mereka tuju.
Pria itu tersenyum sinis. "Gua Terlarang? Itu bukan tempat untuk orang seperti kalian. Banyak yang sudah pergi ke sana, tapi tidak ada yang kembali. Hati-hati dengan apa yang kalian cari."
"Kenapa begitu, Pak?" tanya Dika, bingung.
"Karena ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tersembunyi," jawab pria itu, lalu berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Rani dan Dika saling memandang. Mereka merasa ada sesuatu yang aneh, tapi mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka terus melangkah maju, bertekad menemukan artefak yang hilang.
Setelah beberapa hari perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan mulut gua yang gelap. Angin dingin bertiup dari dalam gua, dan suara-suara aneh terdengar dari kedalamannya. Dika memandang gua itu dengan cemas, sementara Rani tampak lebih bersemangat dari sebelumnya.
"Kita hampir sampai," kata Rani. "Aku bisa merasakannya."
Dika mengangguk, meskipun rasa takut mulai menguasainya. "Tapi kalau sesuatu yang buruk terjadi... bagaimana kita tahu jalan keluarnya?"
Rani menatap sahabatnya dengan penuh keyakinan. "Kita tidak akan membiarkan itu terjadi. Kita harus percaya pada diri kita sendiri."
Mereka melangkah masuk ke dalam gua. Setiap langkah mereka memecah keheningan yang dalam, dan udara semakin dingin seiring kedalaman yang mereka masuki. Mereka menggunakan senter untuk menerangi jalan yang semakin sempit dan berliku.
Di dalam gua, mereka menemukan banyak petunjuk yang menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian. Jejak kaki kuno yang mengarah ke dalam gua, serta ukiran-ukiran di dinding yang menceritakan tentang kerajaan yang telah lama hilang. Rani mencatat setiap detail, sementara Dika terus waspada.
"Ada sesuatu yang aneh di sini," kata Dika sambil menatap dinding gua. "Seperti ada sesuatu yang mengikuti kita."
Rani berhenti sejenak dan mendengarkan. Suara gemerisik terdengar di kejauhan, seakan-akan ada sesuatu yang bergerak di dalam gua. "Mungkin ada jebakan," kata Rani. "Kita harus berhati-hati."
Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Mereka berbalik dan melihat bayangan seseorang. Dika menyalakan senter lebih terang, dan mereka terkejut melihat seseorang yang mereka kenal.
"Sari?" seru Rani terkejut.
Sari, seorang pemburu harta karun yang terkenal, berdiri di hadapan mereka. Wajahnya tampak licik, dan matanya berbinar dengan rasa ingin tahu yang tajam.
"Kalian juga mencari artefak itu?" tanya Sari, dengan senyum sinis.
"Kenapa kamu di sini, Sari?" tanya Dika, bingung. "Ini berbahaya."
Sari tertawa kecil. "Berbahaya? Justru ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Aku akan menemukan artefak itu, dan kalian tidak bisa menghalangiku."
Rani merasa gelisah. "Kami tidak berniat menghalangimu, Sari. Tapi ini bukan hanya tentang harta. Ini adalah bagian dari sejarah yang harus kita jaga."
Sari menatap mereka sejenak, lalu mengangkat bahu. "Sejarah hanya penting bagi mereka yang lemah. Aku tidak tertarik pada itu."
Dengan langkah cepat, Sari melanjutkan perjalanan lebih dalam ke gua, meninggalkan Rani dan Dika yang terpaksa mengikuti dengan cemas.
Gua semakin dalam, dan suasananya semakin mencekam. Mereka harus melewati serangkaian jebakan yang telah dirancang dengan sangat rapi oleh orang-orang dari kerajaan kuno. Rani dan Dika berhasil melewati beberapa jebakan dengan kecerdikan dan keberanian, tetapi mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar menanti di depan.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah ruang besar yang penuh dengan reruntuhan dan artefak kuno. Di tengah ruangan, terletak sebuah peti besar yang tampak sangat tua. Sari sudah berada di sana, berdiri di depan peti itu, dan matanya berbinar penuh kemenangan.
"Aku menemukannya!" seru Sari dengan suara bangga.
Namun, sebelum Sari bisa membuka peti itu, tanah di bawah mereka bergoyang, dan sebuah suara menggelegar terdengar dari kedalaman gua.
"Jangan sentuh itu!" teriak Rani, menyadari bahwa peti itu terkunci dengan sihir kuno yang bisa membahayakan siapa pun yang berusaha membuka tanpa pengetahuan yang tepat.
Tapi sudah terlambat. Sari sudah membuka peti itu, dan sebuah cahaya terang menyembur keluar, membuat seluruh gua berguncang hebat.
"Rani, Dika... lari!" teriak Sari, tapi sudah terlalu terlambat.
Batu-batu mulai runtuh, dan gua itu mulai ambruk. Dengan cepat, Rani dan Dika berlari menuju pintu keluar, membawa Sari yang panik bersama mereka. Saat mereka berhasil keluar dari gua yang runtuh, mereka menatapnya dengan napas terengah-engah.
"Ini bukan akhir," kata Dika, sambil melihat gua yang kini tertutup oleh reruntuhan. "Tapi kita harus kembali suatu saat nanti."
Rani mengangguk. "Kita akan kembali. Ada banyak lagi yang harus kita temukan."
Setelah keluar dari gua yang runtuh, Rani dan Dika berdiri terengah-engah di luar, memandang reruntuhan yang kini menutupi pintu masuk gua. Mereka masih merasakan gemuruh di dada mereka, jantung yang berdebar kencang setelah melarikan diri dari bahaya yang baru saja mereka alami. Sari, yang sebelumnya tampak penuh percaya diri, kini terlihat panik dan cemas.
“Kita... kita berhasil keluar, tapi apa yang terjadi di dalam gua?” Sari bertanya, suaranya masih terdengar cemas.
Dika menatap reruntuhan gua yang mulai dihantam angin malam. “Kita hampir saja kehilangan nyawa di sana. Itu bukan artefak biasa. Itu lebih dari sekadar benda kuno. Itu sesuatu yang sangat berbahaya.”
Rani mengangguk, matanya masih terfokus pada reruntuhan yang kini hampir tertutup sepenuhnya. “Aku rasa kita harus mencari cara untuk menghentikan ini. Artefak itu bukan sekadar harta atau peninggalan sejarah. Sepertinya ada kekuatan besar yang terkandung di dalamnya.”
Sari yang berdiri di sebelah mereka tampak semakin gelisah. “Lalu apa yang harus kita lakukan? Itu bukan hanya soal kita lagi, ini sudah melibatkan sesuatu yang lebih besar.”
Rani memandang Sari dengan tatapan tajam. “Kita harus mencari cara untuk menghancurkan artefak itu. Jika kita tidak, kekuatan yang terkandung di dalamnya bisa menghancurkan lebih dari sekadar gua ini.”
Dika mengangguk, setuju dengan Rani. “Sari, kamu harus berhenti berpikir tentang keuntungan pribadi. Ini tentang dunia kita. Jika kekuatan itu sampai jatuh ke tangan yang salah, tidak ada yang bisa mengendalikan apa yang akan terjadi.”
Sari terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Dika. Ia tampak ragu, kemudian akhirnya berkata, “Aku mengerti. Tapi bagaimana kita menghentikan itu? Apa yang harus kita lakukan?”
Rani menatap ke kejauhan, berpikir keras. “Ada satu cara yang mungkin bisa kita coba. Jika kita bisa menemukan kitab kuno yang disebut Kitab Sang Pencipta, mungkin kita bisa menemukan cara untuk menghancurkan artefak itu. Menurut legenda, kitab itu berisi petunjuk tentang kekuatan artefak-artefak kuno dan bagaimana cara mengendalikannya.”
Dika menatap Rani dengan rasa tak percaya. “Kitab itu sudah lama hilang, bukan? Kita bahkan tidak tahu apakah itu masih ada atau tidak.”
Rani mengangguk. “Memang, tapi aku yakin kitab itu ada. Kita hanya perlu menemukannya.”
Sari, yang tampaknya mulai lebih tenang, mengangguk. “Aku akan ikut dengan kalian. Aku tahu betul apa yang bisa terjadi jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah. Kalau kita harus melakukannya, kita akan melakukannya bersama.”
Dengan tekad yang baru, ketiganya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka kembali menyusun rencana untuk mencari Kitab Sang Pencipta yang misterius itu. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan lebih berbahaya dan penuh tantangan, tetapi mereka tidak punya pilihan lain selain melanjutkan pencarian mereka.
Mereka berangkat ke sebuah kota kecil yang terletak beberapa hari perjalanan dari gua. Kota itu dikenal sebagai tempat tinggal seorang penulis legendaris yang dikenal memiliki pengetahuan luas tentang artefak-artefak kuno dan kitab-kitab misterius. Namanya adalah Pak Harjo, seorang pria tua yang dikenal sebagai ahli sejarah yang jarang bergaul dengan orang lain.
Setibanya di kota itu, mereka segera pergi ke rumah Pak Harjo, yang terletak di ujung jalan setapak yang dipenuhi pepohonan tinggi. Rumah itu tampak sederhana, dengan dinding kayu tua dan jendela-jendela kecil yang terhalang tanaman merambat. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka—sebuah patung batu besar yang berdiri di depan rumah, menggambarkan sosok seorang pria dengan tangan terentang, seakan memberi peringatan kepada siapa saja yang mendekat.
Dika sedikit ragu. “Apa ini tempat yang tepat? Sepertinya tidak ada orang yang datang ke sini sejak lama.”
Rani mengangguk. “Pak Harjo adalah orang yang kita butuhkan. Jika ada yang tahu di mana Kitab Sang Pencipta itu, dia pasti tahu.”
Mereka mengetuk pintu dengan pelan. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seorang pria tua dengan rambut putih panjang serta janggut yang lebat menyambut mereka. Wajahnya penuh kerut, namun matanya masih tajam dan penuh wibawa.
“Selamat datang,” kata Pak Harjo dengan suara dalam, meskipun tidak terlihat terkejut. “Apa yang kalian cari di sini?”
Rani menjelaskan tujuan mereka dengan hati-hati, menjelaskan tentang artefak kuno yang mereka temukan dan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Pak Harjo mendengarkan dengan seksama, kadang mengangguk, kadang mengerutkan dahi.
“Apa yang kalian cari adalah sesuatu yang sangat berbahaya,” kata Pak Harjo akhirnya. “Kitab Sang Pencipta memang ada, dan saya tahu di mana keberadaannya. Tapi, saya harus memperingatkan kalian, pencarian itu tidak akan mudah. Kitab itu dilindungi oleh banyak hal—termasuk perangkap, teka-teki, dan bahkan makhluk gaib yang tak terbayangkan.”
Sari yang berdiri di sebelah mereka tampak semakin cemas. “Apa maksudmu dengan makhluk gaib?”
Pak Harjo tersenyum tipis. “Pencari sejati selalu diuji. Mereka yang berani menghadapi tantangan tersebut adalah mereka yang layak mendapatkan pengetahuan itu. Namun, jika kalian takut, ini bukan perjalanan untuk kalian.”
Dika menghembuskan napas panjang. “Kami sudah siap. Apa yang harus kami lakukan?”
Pak Harjo mengangguk pelan. “Baiklah. Ikuti saya.”
Mereka masuk ke dalam rumah Pak Harjo, yang tampak lebih tua dan penuh buku-buku tua yang berantakan. Di sudut ruangan, terdapat sebuah lemari besar dengan pintu terkunci. Pak Harjo membuka kunci itu dengan hati-hati, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu yang tampak sangat kuno. Kotak itu tampak sangat berat, dan ketika dibuka, di dalamnya terdapat sebuah peta yang lebih tua lagi daripada peta yang mereka temukan sebelumnya.
“Ini adalah peta yang mengarah ke tempat di mana Kitab Sang Pencipta disembunyikan. Tapi ingat, perjalanan ini akan menguji keberanian dan kecerdikan kalian. Jika kalian berhasil, kalian akan menemukan apa yang kalian cari. Jika gagal...” Pak Harjo tidak melanjutkan kata-katanya, tetapi raut wajahnya sudah cukup untuk memberikan peringatan.
Rani, Dika, dan Sari saling berpandangan. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan membawa mereka ke tempat yang lebih berbahaya lagi, tetapi mereka tidak bisa mundur. Mereka harus melanjutkan.
Pencarian mereka untuk menemukan Kitab Sang Pencipta dimulai keesokan harinya. Dengan peta di tangan, mereka melangkah ke arah hutan lebat yang jauh dari kota. Pak Harjo telah memperingatkan mereka bahwa tempat itu penuh dengan jebakan, dan hanya mereka yang bijaksana yang bisa menghindarinya.
Mereka berjalan selama berjam-jam, menyusuri jalan setapak yang semakin sempit dan gelap. Rani memimpin, dengan peta yang terbuka di tangan. Dika berjalan di belakangnya, sementara Sari mengawasi sekeliling, memastikan tidak ada bahaya yang mendekat.
Setiba di sebuah lembah yang dalam, mereka melihat sebuah batu besar yang berdiri tegak di tengah jalan. Batu itu tertutup oleh akar-akar pohon yang menjalar, tampak seperti tidak ada yang pernah lewat di sana sebelumnya. Namun, saat mereka mendekat, batu itu tampak bergerak sedikit, seperti ada sesuatu yang terpendam di bawahnya.
“Tunggu!” seru Rani. “Ini bukan batu biasa.”
Dika dan Sari menghentikan langkah mereka. Rani memeriksa batu itu dengan hati-hati, lalu menyentuh bagian tertentu di permukaan batu. Tiba-tiba, batu itu bergerak, membuka celah yang cukup besar untuk mereka masuk.
“Ini dia,” kata Rani dengan suara penuh percaya diri. “Kita harus masuk ke dalam.”
Tanpa ragu, mereka masuk ke dalam celah batu, dan perjalanan mereka menuju tempat Kitab Sang Pencipta semakin dekat. Mereka hanya bisa berharap bahwa mereka siap menghadapi segala rintangan yang akan datang.
Mereka melangkah masuk ke dalam celah batu, dan suasana langsung berubah. Udara di dalamnya terasa dingin, dan semakin gelap. Rani memimpin jalan dengan senter yang menyorot dinding-dinding batu yang tampak basah dan licin. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang lorong sempit itu. Di atas mereka, batu-batu yang tersusun rapat tampak menggantung di langit-langit gua, seperti mengintai setiap gerakan mereka.
“Sini,” seru Rani, menatap sebuah ukiran di dinding. “Ada petunjuk di sini.”
Dika dan Sari mendekat, memeriksa ukiran yang tampaknya merupakan simbol-simbol kuno. Rani menyentuh salah satu simbol dengan hati-hati, dan seketika dinding batu di depan mereka bergetar. Tanpa diduga, dinding itu terbuka, memperlihatkan sebuah ruang besar di dalam gua.
Mereka masuk dengan hati-hati, dan di tengah ruang itu, mereka melihat sebuah altar besar dengan patung batu seorang raja kuno yang tampak seperti penjaga dari tempat tersebut. Di atas altar, terdapat sebuah kotak batu dengan ukiran yang hampir mirip dengan petunjuk di dinding.
“Sini, kita harus membuka kotak ini,” kata Rani dengan semangat.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, suara keras terdengar dari ujung ruang. Sebuah pintu besar di sisi lain ruangan terbuka perlahan, mengeluarkan cahaya merah yang menyilaukan. Dari balik pintu itu muncul sebuah sosok tinggi dengan pakaian gelap yang terbuat dari kain misterius. Wajahnya tertutup, hanya matanya yang tampak bersinar tajam.
"Siapa... siapa kamu?" teriak Sari, suara penuh ketegangan.
Sosok itu mengangkat tangan dan sebuah suara dalam yang berat terdengar, seperti gema dari tempat yang jauh. “Aku adalah Penjaga Kitab. Tak ada yang boleh memasuki ruang ini tanpa izin.”
Rani, Dika, dan Sari terdiam. Mereka tahu bahwa sosok itu bukanlah manusia biasa, melainkan makhluk gaib yang telah lama menjaga tempat ini. Kekuatan yang dimilikinya pasti sangat besar.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Rani, mencoba untuk tetap tenang.
Penjaga itu menggelengkan kepala, suaranya bergema di dalam gua. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya menjalankan tugas. Kamu yang harus membuktikan bahwa kalian layak.”
Dika menatap Rani dengan khawatir. “Apa maksudnya? Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa kita layak?”
Penjaga itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba muncul tiga pintu besar yang terbuat dari cahaya di depan mereka. Setiap pintu tampak berbeda—satu berwarna merah, satu biru, dan satu hijau.
“Pilih satu pintu,” suara penjaga itu terdengar lagi. “Hanya mereka yang benar-benar pantas yang dapat melanjutkan perjalanan ini. Setiap pintu memiliki ujian yang berbeda. Pilih dengan bijak.”
Rani melihat ketiga pintu itu, merasakan ketegangan di udara. Waktu terus berjalan, dan mereka tahu mereka tidak bisa ragu. “Kita harus memilih, Dika.”
Dika mengangguk pelan, merasa berat hati. “Bagaimana kalau kita memilih pintu yang biru?”
Sari, yang sudah terlihat sangat gelisah, berkata dengan suara ragu. “Aku rasa pintu hijau yang lebih aman.”
Rani berpikir sejenak, matanya berfokus pada pintu merah yang terletak di tengah. “Aku akan memilih pintu merah,” ucapnya akhirnya. “Ini bisa menjadi ujian terbesar, tapi kita tidak punya pilihan.”
Mereka melangkah bersama menuju pintu merah. Begitu mereka melangkah lebih dekat, pintu itu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan sebuah ruangan besar yang gelap. Suasana di dalam ruangan itu terasa sangat berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai mereka dari kegelapan.
Tiba-tiba, dari dalam kegelapan, muncul bayangan-bayangan besar yang melayang. Mereka bergerak cepat, mengelilingi Rani, Dika, dan Sari. Bayangan itu berubah menjadi makhluk-makhluk raksasa yang terbuat dari asap gelap, dengan mata merah menyala yang menatap mereka dengan kebencian.
“Hadapi mereka!” suara penjaga terdengar dari kejauhan.
Tanpa berpikir panjang, Rani mengeluarkan pisau kecil yang ia bawa dan berusaha melawan salah satu bayangan itu. Dika dan Sari juga ikut bertarung, meskipun mereka tahu betul bahwa kekuatan mereka tidak akan sebanding dengan makhluk-makhluk tersebut.
Namun, Rani merasa ada sesuatu yang aneh. Semakin mereka berusaha melawan, semakin kuat makhluk-makhluk itu. Lalu, dengan cepat, Rani teringat akan satu hal yang dia baca dalam catatan sejarah tentang makhluk gaib ini. “Makhluk-makhluk ini hanya bisa dikalahkan dengan cahaya sejati!” teriaknya.
Sari segera mengeluarkan sebuah kristal yang ia bawa, kristal yang ditemukan di dalam gua sebelumnya, dan memegangnya dengan erat. Cahaya putih yang sangat terang mulai memancar dari kristal itu, dan seketika makhluk-makhluk itu mulai menghilang, seperti terbakar oleh cahaya.
Ketika bayangan-bayangan itu lenyap, ruang itu pun kembali tenang. Rani, Dika, dan Sari terengah-engah, berusaha untuk kembali tenang setelah ujian yang luar biasa.
“Baiklah, kalian telah melewati ujian pertama,” suara penjaga terdengar lagi. “Namun masih ada ujian lain.”
Dengan tubuh yang lelah, mereka melangkah lebih dalam ke dalam ruangan. Di depan mereka, ada altar besar yang berisi kotak batu yang sudah menunggu. Rani mendekati kotak itu dengan hati-hati, dan dengan sebuah gerakan yang mantap, ia membuka penutup kotak tersebut.
Di dalam kotak itu terletak Kitab Sang Pencipta, sebuah buku tua dengan sampul yang tampak sangat berat, seakan penuh dengan rahasia yang sangat kuat. Rani mengangkat kitab itu dengan hati-hati dan memegangnya dengan penuh rasa hormat.
“Ini... ini dia,” ucap Rani, suaranya bergetar. “Kita berhasil menemukannya.”
Namun, seketika itu juga, sebuah suara terdengar menggelegar dari seluruh ruangan, suara yang sangat keras dan mengerikan.
“Tidak ada yang boleh mengambilnya!” teriak suara itu. “Kitab itu adalah milik saya!”
Tiba-tiba, sebuah sosok besar muncul di depan mereka. Sosok itu adalah penjaga terakhir, makhluk yang jauh lebih kuat dari yang mereka bayangkan. Dengan tubuh yang besar, dengan wajah penuh kemarahan, makhluk itu bergerak mendekat.
Namun, Rani, Dika, dan Sari tidak mundur. Mereka berdiri tegak, tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah sekarang. Mereka telah menempuh perjalanan yang sangat jauh, menghadapi bahaya yang luar biasa. Mereka harus melindungi kitab ini, dan memastikan kekuatan yang terkandung di dalamnya tidak jatuh ke tangan yang salah.
Rani membuka halaman pertama dari kitab itu, dan sebuah cahaya menyilaukan keluar dari halaman-halaman tersebut. Dengan cahaya itu, makhluk itu mulai mundur, terdesak oleh kekuatan yang lebih besar dari apapun yang mereka miliki.
Dengan usaha terakhir, mereka berhasil mengalahkan penjaga terakhir. Dan, dengan penuh rasa lega, mereka memegang Kitab Sang Pencipta, memastikan bahwa kekuatan besar di dalamnya tidak akan jatuh ke tangan yang salah.
Setelah semua ujian itu berlalu, mereka keluar dari gua dengan membawa Kitab Sang Pencipta. Dunia mereka telah berubah selamanya. Apa yang mereka temukan bukan sekadar artefak kuno, tetapi sebuah kunci untuk memahami sejarah yang lebih besar, dan untuk melindungi dunia dari ancaman yang lebih gelap.
Rani, Dika, dan Sari kembali ke kota, menyimpan rahasia besar yang baru mereka temukan. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Dunia ini penuh dengan misteri, dan mereka akan terus mencari jawaban—bersama.
(Tamat)