Hari itu, empat teman itu berkumpul di rumah Rafael, merencanakan petualangan mereka yang akan datang.
"Bagaimana kalau kita ke Kota Tua besok?" Rafael bertanya dengan semangat. "Aku dengar ada banyak cerita tentang tempat itu. Ada yang bilang, ada benda-benda misterius yang belum ditemukan di sana."
Arkan yang duduk di kursi dekat meja makan menyeringai. "Ayo saja! Kota Tua itu tempat yang penuh cerita. Aku rasa kita bisa menemukan sesuatu yang menarik di sana."
Hana yang sedang membaca buku di pojok ruangan menatap mereka dengan senyum. "Aku setuju. Tapi, kita harus berhati-hati. Tidak semua cerita yang beredar itu benar. Mungkin ada penjelasan logis di balik semuanya."
Siti yang duduk di samping Hana menimpali, "Benar, kita harus tetap berpikir rasional. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa mencari tahu lebih banyak. Siapa tahu kita bisa mengungkap misterinya."
Rafael tersenyum lebar. "Kalian benar. Kita bisa mulai dari bangunan yang paling tua di sana, yang menurut cerita selalu ada kejadian aneh."
Keesokan harinya, mereka berempat bertemu di depan gerbang Kota Tua, yang tampak angker dengan bangunan-bangunan tua yang sudah mulai rapuh. Suasana di sana seakan membawa mereka pada masa lalu, ketika kota ini masih hidup penuh aktivitas. Kini, hanya beberapa turis dan orang-orang yang penasaran yang datang berkunjung. Mereka memulai perjalanan mereka dengan penuh antusias.
Petualangan Dimulai
Mereka pertama kali mengunjungi sebuah bangunan yang dikenal dengan nama Rumah Belanda, yang sudah lama terbengkalai. Dari luar, rumah itu tampak menyeramkan, dengan jendela yang berdebu dan pintu yang sudah usang. Namun, rasa penasaran membuat mereka melangkah maju.
“Ini dia,” Rafael berkata sambil menunjuk ke arah pintu utama yang hampir terbuka. “Menurut cerita, di sini sering terjadi kejadian aneh, seperti suara-suara misterius dan bayangan yang bergerak.”
Siti mengangguk dan mengeluarkan peta tua yang ia temukan di perpustakaan beberapa hari yang lalu. “Ini menunjukkan bahwa bangunan ini memiliki banyak ruang tersembunyi, dan banyak yang mengatakan bahwa ada lorong rahasia di dalamnya.”
Hana melangkah lebih dekat ke pintu dan menahan nafas. "Apakah kita benar-benar ingin masuk? Tempat ini sudah lama ditinggalkan. Bisa jadi ada bahaya."
Arkan tersenyum lebar dan berkata, “Tentu saja! Apa serunya petualangan kalau kita tidak masuk ke tempat yang penuh misteri?”
Dengan keberanian yang sama, mereka akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah yang gelap itu. Begitu kaki mereka menginjakkan tanah di dalam, bau musty dan kelembapan menyambut mereka. Kegelapan meliputi ruangan, hanya diterangi oleh cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah dinding yang sudah rapuh.
“Lihat ini,” Rafael berteriak, menunjukkan sebuah lukisan tua di dinding yang tergores waktu. "Lukisan ini terlihat seperti peta, dan ada sebuah tanda aneh di ujungnya. Sepertinya itu mengarah ke suatu tempat."
Mereka mengamati lukisan itu dengan lebih teliti. Memang, di sudut bawah lukisan ada sebuah simbol aneh yang seperti menunjukkan sebuah lorong tersembunyi di dalam rumah. Mereka mengikuti petunjuk itu dan menemukan sebuah ruangan terkunci di bagian belakang rumah. Di pintu itu, terdapat simbol yang hampir sama dengan yang ada di lukisan.
"Ini pasti petunjuk untuk menuju tempat yang lebih dalam," kata Siti sambil memegang tombol di pintu itu dengan hati-hati. “Mungkin di sini tempatnya.”
Dengan sedikit kekuatan, mereka berhasil membuka pintu itu. Begitu pintu terbuka, udara dingin langsung menyeruak keluar dari dalam ruangan. Mereka melangkah masuk ke dalam lorong sempit yang gelap.
Keberanian Diuji
Lorong itu panjang dan berliku-liku. Setiap langkah mereka dipenuhi rasa cemas dan rasa ingin tahu yang semakin besar. Suara langkah kaki mereka bergema di dinding sempit itu. Tiba-tiba, mereka mendengar suara gemerisik dari belakang, seolah-olah ada sesuatu yang mengikuti mereka.
"Siti, apa itu?" tanya Hana dengan suara bergetar.
Siti yang berjalan paling depan menoleh, tetapi tidak melihat apapun. "Mungkin hanya suara angin. Tidak perlu khawatir."
Namun, keheningan itu segera terpecah ketika mereka tiba di sebuah ruangan yang sangat besar, penuh dengan benda-benda tua yang tertutup debu. Di tengah ruangan, mereka melihat sebuah meja batu besar dengan sebuah kotak kayu yang sangat tua di atasnya.
"Ini dia!" teriak Rafael, sambil mendekati meja tersebut. "Ini pasti yang mereka cari selama ini."
Namun, sebelum Rafael bisa membuka kotak itu, pintu di belakang mereka tertutup dengan keras, menimbulkan suara yang sangat mengerikan. Mereka berempat terperangah dan berbalik, hanya untuk melihat bayangan hitam yang bergerak dengan cepat di sudut ruangan.
Tiba-tiba, suara itu terdengar lagi, lebih jelas. “Jangan sentuh kotak itu...” suara halus dan berat bergema di dalam ruangan.
Arkan melangkah maju. “Siapa kamu? Kenapa memperingatkan kami?”
Suara itu hanya diam, dan bayangan itu semakin dekat. Namun, tanpa diduga, Siti memegang kotak itu dengan mantap, lalu membukanya. Di dalamnya, terdapat sebuah batu kecil bercahaya yang terbuat dari logam kuno.
Begitu batu itu terbuka, cahaya terang menyelimuti seluruh ruangan, dan bayangan itu menghilang dengan sendirinya. Mereka terperangah, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
“Jadi... itu bukan hantu?” tanya Hana, yang merasa lega.
“Tidak,” jawab Rafael, sambil tersenyum. “Ternyata itu adalah alat kuno yang menahan energi dari benda ini. Kita telah memecahkan misterinya.”
Siti menatap batu itu dengan kagum. “Ternyata, benda ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Itu sebabnya tempat ini penuh dengan cerita.”
Kembali ke Rumah
Dengan batu bercahaya di tangan, mereka kembali ke rumah Rafael, merenungkan petualangan yang baru saja mereka lalui. Kota Tua ternyata memang menyimpan misteri besar, namun lebih dari itu, mereka juga belajar bahwa terkadang, hal-hal yang kita anggap menakutkan hanyalah bagian dari sebuah kisah yang belum terungkap.
“Jadi, apa yang kita lakukan dengan batu ini?” tanya Arkan.
Rafael tersenyum. “Kita simpan dulu. Mungkin ada cerita lain yang akan terungkap suatu hari nanti.”
Hana menatap mereka dengan senyuman. “Petualangan kita baru saja dimulai.”
(Tamat)